10 Rangkaian Upacara Ngaben Di Bali

10 Rangkaian Upacara Ngaben Di Bali

Ngaben adalah upacara prosesi besar yang dilakukan di pulau Bali. Acara ini merupakan upacara penyucian roh (atma) fase pertama dengan pembakaran jenazah orang yang sudah meninggal terutama bagi mereka yang beragama Hindu di Bali.

Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Upacara Ngaben merupakan salah satu upacara yang ada di bali dan sangat terkenal tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia.

Bagi masyarakat Bali, ngaben adalah upacara yang sakral dan penting karena dengan melakukan ngaben keluarga almarhum dapat membebaskan jiwanya dari ikatan duniawi.

Makna & Tujuan Upacara Ngaben

Upacara Ngaben ini makna intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya.

Seorang Pendeta Bali (Pedanda/Pinandita) mengatakan manusia memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal Bayu, Sabda, Idep itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa.

Selain itu, pendeta (Pedanda) ini juga yang akan memberikan masukan kapan hari baik untuk mengadakan acara ini kepada sanak saudara dari orang yang meninggal.

Biasanya persiapan akan dilakukan jauh-jauh hari sebelum hari baik tersebut ditetapkan. Dibantu dengan masyarakat biasanya keluarga yang ditinggalkan akan mempersiapkan Bade dan Lembu atau sebuah wadah yang bentuknya menyerupai padma / vihara yang disimbolkan sebagai rumah Sang Yang Widhi. “Bade dan Lembu” ini merupakan sebutan bagi tempat jenazah yang akan dilaksanakan Ngaben.

Bentuk wadah ini sangatlah megah sekaligus ini juga akan memperlihatkan golongan dan kedudukan sosial ekonomi keluarga dari orang yang meninggal.

Dalam mengadakan upacara Ngaben ini biasanya keluarga dari orang yang meninggal mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, oleh karena itu untuk menghemat biaya

Di Bali saat ini sering diadakan acara Upacara Ngaben massal yang tujuannya tidak lain dan tidak bukan agar tidak memberatkan sanak saudara yang ditinggalkan agar bisa mengadakan acara ini dan tetap menjaga nilai-nilai leluhur dan inti dari acara ini.

Perayaan upacara ngaben ini biasanya dilakukan dengan semarak, semua orang akan bergembira ria mengiringi prosesi pemakaman dan tidak ada isak tangis, karena di Bali sendiri ada suatu keyakinan bahwa keluarga yang ditinggalkan tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal karena hal itu dianggap dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya.

Sebelum upacara ngaben dimulai biasanya jenazah akan dibersihkan/dimandikan terlebih dahulu atau yang biasa disebut “Nyiramin”. “Nyiramin” ini dipimpin oleh tetua yaitu orang yang dianggap paling tua didalam masyarakat.

Setelah itu jenazah akan dipakaikan pakaian adat Bali seperti layaknya orang yang masih hidup. Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah dapat memperoleh tempat yang baik.

Setelah persiapan awal selesai dan semuanya sudah siap, maka jenazah akan diletakkan di “Bade” yang sudah dibuat sebelumnya untuk diusung beramai-ramai ke tempat upacara Ngaben, diiringi dengan kidung suci dan gamelan yang diikuti oleh seluruh keluarga dan masyarakat. Tampak dibagian depan “Bade” akan diletakkan kain putih yang panjang yang diyakini sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya.

Di setiap persimpangan seperti pertigaan atau perempatan maka “Bade” akan diputar sebanyak 3x. Sesampainya di tempat acara pemakaman, jenazah akan diletakkan di “Lembu” yang telah disiapkan sebelumnya dengan diawali upacara-upacara lainnya dan dibacakan doa mantra dari pendeta (Pedanda), setelah itu “Lembu” akan dibakar sampai menjadi Abu. Abu ini kemudian dilarung (disebarkan) ke Laut atau sungai yang dianggap suci oleh masyarakat Bali setempat.

Acara Ngaben ini juga yang menyebabkan mengapa ikatan keluarga di Bali sangat kental, karena dengan upacara seperti ini mereka berharap akan selalu ingat dan menghormati leluhurnya dan bisa mendoakan leluhur bersama-sama dari tempat suci ataupun pura masing-masing

Jenis Upacara Ngaben

Jenis Upacara Ngaben

Ngaben-ngaben jenis ini antara lain Mitrayadnya, Pranawa dan Swasta. Namun demikian, terdapat juga berbagai jenis upacara yang tergolong besar, seperti sawa prateka dan sawa wedhana. Berikut Jenis – jenis Upacara Ngaben Sederhana

1. Mendhem Sawa 

Mendhem sawa berarti penguburan mayat. Di muka dijelaskan bahwa ngaben di Bali masih diberikan kesempatan untuk ditunda sementara, dengan alasan berbagai hal seperti yang telah diuraikan. Namun diluar itu masih ada alasan yang bersifat filosofis lagi, yang didalam naskah lontar belum diketemukan.

Mungkin saja alasan ini dikarang yang dikaitkan dengan landasan atau latar belakang filosofis adanya kehidupan ini. Alasannya adalah agar ragha sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara dapat merunduk pada prthiwi dulu. Yang secara ethis dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda prthiwi.

Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa (jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).

2. Ngaben Mitra Yajna 

Ngaben Mitra Yajna Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya leluhur, yajna berarti korban suci. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang diajarkan pada Lontar Yama Purwana Tattwa, karena tidak disebutkan namanya yang pasti.

Upacara Ngaben itu menurut ucap lontar Yama Purwana Tattwa merupakan Sabda Bhatara Yama. Dalam warah-warah itu tidak disebutkan nama jenis upacara ngaben ini.

Untuk membedakan dengan jenis ngaben sedehana lainnya, maka ngaben ini diberi nama Mitra Yajna. Pelaksanaan Atiwa-atiwa / pembakaran mayat ditetapkan menurut ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa, terutama mengenai upakara dan dilaksanakan di dalam tujuh hari dengan tidak memilih dewasa (hari baik).

3. Pranawa Pranawa

Pranawa Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin.

Pejati dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku ketentuan seperti amranawa sawa yang baru meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama dengan ketentuan ngaben amranawa sawa baru meninggal, seperti yang telah diuraikan.

4. Pranawa Bhuanakosa 

Pranawa Bhuanakosa merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi Brghu. Dimana Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru meninggal walaupun pernah ditanam, disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai jalan dengan Bhuanakosa Pranawa.

5. Swasta

Swasta artinya lenyap atau hilang. Adalah nama jenis ngaben yang sawanya (mayatnya) tidak ada (tan kneng hinulatan), tidak dapat dilihat, meninggal didaerah kejauhan, lama di setra, dan lain-lainnya, semuanya dapat dilakukan dengan ngaben jenis swasta.

Walaupun orang hina, biasa, dan uttama sebagai badan (sarira) orang yang mati disimbolkan dengan Dyun (tempayan) sebagai kulit, benang 12 iler sebagai otot, air sebagai daging, balung cendana 18 potong. Pranawa sebagai suara, ambengan (jerami) sebagai pikiran, Recafana sebagai urat, ongkara sebagai lingga hidup.

Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara ngulapin, bagi yang meninggal di kejauhan yang tidak diketahui dimana tempatnya, upacara pengulapan, dapat dilakukan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di pendhem yang tidak dapat diketahui bekasnya pengulapan dapat dilakukan di Jaba Pura Dalem.

Rangkaian Pelaksanaan Upacara Ngaben Secara Umum

Rangkaian Pelaksanaan Upacara Ngaben Secara Umum

1. Ngulapin

Ngulapin bermakna sebagai upacara untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal di luar rumah yang bersangkutan (misalnya di Rumah Sakit, dll).

Upacara ini dilaksanakan berbeda sesuai dengan tata cara dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.

2. Nyiramin/Ngemandusin

Merupakan upacara memandikan dan membersihkan jenazah, upacara ini biasa dilakukan dihalaman rumah keluarga yangbersangkutan (natah). Pada prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya, serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugrahi badan yang lengkap (tidak cacat).

3. Ngajum Kajang

Kajang adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta atau tetua adat setempat.Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya.

4. Ngaskara

Ngaskara bermakna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya yang masih hidup di dunia.

5. Mameras

Mameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma baik yang mereka lakukan.

6. Papegatan

Papegatan berasal dari kata pegat, yang artinya putus, makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik.

Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada sebuah lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.

7. Pakiriman Ngutang

Setelah upacara papegatan maka akan dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tidak mutlak harus ada, dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga).

Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara Baleganjur (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat, atau suara angklung yang terkesan sedih.

Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan diarak berputar 3x berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing. Selain itu perputaran ini juga bermakna: Berputar 3x di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga.

Berputar 3x di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol perpisahan dengan lingkungan masyarakat. Berputar 3x di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.

8. Ngeseng

Ngeseng adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan , disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta,

Setelah selesai kemudian barulah jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian digilas dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya

9. Nganyud

Nganyud bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, atau sungai.

10. Makelud

Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari setelah upacara pembakaran jenazah. Makna upacara makelud ini adalah membersihkan dan menyucikan kembali lingkungan keluarga akibat kesedihan yang melanda keluarga yang ditinggalkan.

Filosofis 12 hari kesedihan ini diambil dari Wiracarita Mahabharata, saat Sang Pandawa mengalami masa hukuman 12 tahun di tengah hutan

Note : Jika terdapat penjelasan yang kurang tepat ataupun kurang lengkap. Mohon dikoreksi bersama. Suksma…